Cerpen : Akhirnya, Semua Tentang Pulang

16 Mei 2018

            Aduh, seseorang yang tidak aku kenal meneleponku disaat perkuliahan berlangsung. Terpaksa aku harus keluar ruangan, siapa tahu ada sesuatu yang penting. Benar saja, penting. Penting banget! Seorang wanita dari sana memberi kabar tentang lolosnya aku sebagai delegasi student exchange ke Korea Selatan mewakili universitasku. Tidak peduli dengan orang-orang yang melihat, aku langsung sujud syukur. Teriak-teriak menyebut namaNya. “Keajaiban! Ya Allah, terimakasih. Aku ke Korea! Aaaaa!”

            Hari itu juga aku langsung mengabari semua keluargaku dan juga teman-temanku bahkan dosen waliku. Aku begitu bahagia tak terkira. Bagaimana tidak? Mimpiku selama ini terwujud. Kerja kerasku belajar TOEFL dan mempertahankan IPK terbayar lunas. Wawancara yang mengerikan pun aku lalui demi ke Korea.

Dan hari itu juga aku mulai mempersiapkan semua kebutuhanku untuk pergi ke Korea Selatan. Pikiranku sudah terbang ke Korea. Membayangkan pergi ke pulau Nami. Terus kenalan sama oppa-oppa ganteng. Wah, pasti romantis bagai drama Korea. Di Korea aku juga pengen makan ramen dengan kimchi sambil memakai hanbok. O ya, tak lupa pergi ke Namsan Seoul Tower yang penuh dengan gembok-gembok cinta. Biar semakin romantis.

 

27 Juni 2018

            Woah! Bandara. Besar sekali. Ini kali pertama aku akan terbang ke luar negeri. Sendirian. Naik pesawat pula. Pengalaman pertamaku semua. Aku sebenarnya bingung juga harus kemana dulu. Untung ada banyak petugas bersliweran, jadi aku dengan mudah bisa bertanya-tanya tanpa takut tersesat.

            Wiiih! Aku di dalam pesawat. Banyak orang bule di dalam sini, orang Indonesia juga lumayan banyak. Mereka mau kemana saja ya? Enak sekali sepertinya bisa ke luar negeri sering-sering. Apalagi bisa keliling dunia gratis. Aku ini memang suka gratisan.

            Lihat! Pesawatnya mulai melintasi awan-awan putih. Dulu aku berimajinasi bisa guling-guling di atas awan, tapi ternyata meraka hanya kumpulan partikel. Tapi kini aku bisa melihatnya lebih dekat. Aku beruntung sekali mendapat tempat duduk di pinggir jendela. Sungguh menawan pemandangan di luar pesawat. Tak lupa aku mengabadikannya untuk nanti aku upload di sosial mediaku.

 

28 Juni 2018

            Pemandangan negara Korea Selatan tampak semakin jelas. Mataku tidak bisa beralih dari menatap jendela. Begitupula dengan kamera smartphoneku. Sudah ku simpan beberapa foto pemandangan itu. Aku tidak sabar ingin pamer ke teman-teman di sosial media.

            Inilah bandara Gwangju. Gwangju adalah salah satu kota terbesar di Korea Selatan. Disini hawanya lumayan hangat karena masih musim panas. Tenang, lebih panas di Surabaya, tempat kampusku berada. Di luar bandara sudah ada yang menjemput untuk mengantarku menuju asrama mahasiswa milik Chonnam National University.

Saat ku temui bapak-bapak yang menjemputku, ternyata aku tidak sendiri. Ada dua orang dari Indonesia selain aku. Mereka dari kampus yang berbeda. Juga menjadi delegasi kampus masing-masing. Yang besar dan tinggi itu namanya Riko dan yang tinggi berkacamata itu namanya Hambra. Jadi, seperti ini rasanya bertemu dengan sesama orang Indonesia di luar negeri. Senang dan rasanya hatiku tenang.

            Kami menuju asrama. Tentunya kami berpisah. Kamarku berada di lantai dua salah satu gedung asrama. Aku suka. Lebih bagus daripada kosanku di Surabaya. Dan sepertinya aku tidak sendiri di kamarku. Ada seorang teman dari Cina yang tempat tidurnya berseberangan denganku. Kata dia, namanya adalah Fang Yin. Aku harap kita bisa menjadi teman baik.

            Aku harus bersiap-siap untuk mengikuti acara penyambutan nanti siang. Jadi aku harus segera membereskan semua barang-barangku. Akan seperti apa ya bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara? Aku lumayan gugup tapi juga penasaran.

            Wah, ruangannya sudah ramai. Penuh dengan berbagai warna kulit, bentuk wajah, serta logat yang lucu. Aku bertemu Riko dan Hambra. Lalu aku perkenalkan mereka dengan Fang Yin. Aku pun dikenalkan dengan beberapa teman mereka. Kita menikmati ngobrol dengan banyak kenalan baru. Meskipun conversationku tidak terlalu bagus, aku pede aja. Dan tentunya ini pengalaman yang luar biasa.

            Seharian ini aku melakukan aktivitas yang mengasyikan. Rasanya aku ingin lama-lama tinggal di Korea Selatan. Apalagi ada banyak oppa-oppa ganteng. Akankah ceritaku ini akan menjadi layaknya drama Korea? Oke, aku harus tidur untuk menyambut hari esok yang lebih menyenangkan.

 

29 Juni 2018

            Aku bangun dengan semangat kali ini. Tidak seperti hari-hari biasa di Surabaya. Serta tidak seperti hari Jumat biasanya. Kami akan berkeliling kampus. Dan pergi ke beberapa tempat di sekiar kampus. Aku tahu, hari ini bakal menjadi hari Jumat yang sangat istimewa.

              Aku mengamati Riko dan Hambra yang lagi kebingungan saat kami sedang berkeliling kampus bersama mahasiswa asing lainnya. Entah apa yang sedang mereka pikirkan. “Ada masalah apa, Rik?”.

            “Kita dari tadi itu bingung. Ini kan hari Jumat ya, aku dan Hambra harus sholat Jumat. Dan kami bimbang harus izin atau gimana? Sedangkan kita juga nggak tahu jalan menuju masjid Umar bin Khattab di Gwangju. Aduh!” Kata Riko gelisah.

            Benar juga ya. Mungkin bagiku aku bisa sholat di suatu ruangan. Tapi, mereka harus mencari setidaknya tempat yang bisa untuk sholat Jumat. Memang, disini tidak sama seperti di Indonesia. Jika disini kita harus mikir dulu mau sholat dimana, di Indonesia kita bisa beribadah tanpa harus ribet. Ah, kenapa aku jadi kepikiran Indonesia. Sudahlah, ini kan saatnya having fun.

 

3 Agustus 2018

            Asik! Aku diundang makan malam oleh teman Korea ku. Namanya Hana. Dia memang ramah dan baik banget meskipun komunikasi diantara kami kurang bagus karena dia kurang paham dengan bahasa inggris, sehingga selain menggunakan bahasa inggris aku juga menggunakan bahasa isyarat. Sepertinya bahasa isyarat adalah bahasa internasional yang tersembunyi.

Aku juga diajak jalan-jalan keliling Gwangju selepas kelas tadi siang. Sampai malam tiba, kami baru pulang. Jal meokkessumnida!” dengan mengatakannya bersama, kami siap untuk menyantap hidangan makan malam.

Lalu aku bingung harus makan apa. Aku takut ada makanan yang seharusnya tidak boleh aku makan. Aku ingin bertanya tapi merasa tidak enak. Apa boleh buat, aku harus bertanya. “Apakah ini ayam?”

“Oh.. ayam? Bukan.. Bukan.. Ini ngook.. ngook.. ngook..” Hana membuat suara mirip hewan. Aku tahu itu babi. “Makan.. makan. Ayo!” Sambil menyodorkan daging babi yang terlihat enak sekali. Aku tidak boleh tergiur.

“No.. No.. Saya alergi daging babi.” Aku mempraktekkan macam orang gatal-gatal. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Maafkan aku Hana, aku berbohong. Aku lihat kedua orang tua Hana dan adiknya hanya memperhatikan kami sambil sesekali tersenyum. Mungkin mereka tidak paham kami sedang ngobrolin apa. Akhirnya aku hanya makan nasi dan kimchi karena semua berbau babi. Kenapa tidak ada ramen? Ah, beginilah bila terlalu berharap. Sakit, saat kenyataan tidak sesuai harapan.

Usai makan, aku sangat haus. Hana menuangkan segelas air putih. Aku ragu, jangan-jangan bukan air putih yang biasa aku minum. Aku icip dengan lidahku tapi tidak aku telan. Benar! Soju! Ya Allah, ini soju. Aku harus bilang apa lagi? Alergi lagi? Tidak mungkin.

Aku jadi berpikir, mungkin inilah saatnya aku berterus terang. Selain itu, aku juga bisa memberi wawasan kepada mereka tentang islam. Kesempatan yang bagus. Entah, reaksi mereka apakah juga bagus.

“Hana, aku adalah seorang muslim.” Sambil menunjukkan kerudung yang ku pakai, “aku dilarang minum minuman beralkohol.” Aku menjauhkan segelas soju itu dari hadapanku, “dan juga, sebenarnya aku dilarang memakan daging babi.” Aku menunggu reaksi Hana. Aku takut dia kecewa atau malah marah.

“Ooh.. Saya minta maaf. Baik.. baik.. kamu minum ini.” Dia malah menuangkan air putih yang biasanya aku minum. Aku bersyukur dia tidak marah, malah sangat menghargaiku.

Hari ini memang menyenangkan, tapi sedikit kacau. Apalagi aku hanya makan nasi dan kimchi. Membuatku terbayang-bayang ayam penyet dengan nasi dan sambalnya ditemani es teh atau mie ayam bersama es jeruk. Sungguh nikmat. Tapi semua itu hanya ada di Indonesia. Ah, Indonesia lagi.

 

17 Agustus 2018

            17 Agustus adalah hari kemerdekaan Indonesia. Seharusnya hari ini aku bergembira dan mengikuti upacara bendera di kedutaan besar Indonesia di Seoul. Tapi aku masih disini menatap papan tulis dan memandangi dosen. Dan seharusnya aku juga bisa makan makanan khas Indonesia secara gratis disana. Rasanya aku ingin kabur saja dari kelas ini.

            Kelas selesai pada siang menjelang sore. Hari ini memang hari Jumat tapi jadwalnya padat. Aku ingin segera istirahat di kasur. Saat tiba di kamar, aku terkejut. Ada banyak sepatu dan sandal berserakan. Dan terdengar ramai orang. Ya Allah, apa-apaan ini?! Kamarku sungguh porak poranda. Fang Yin membawa teman-temannya pesta di kamarku. Malah ada beberapa yang sudah mabuk. Aku benar-benar shock.

            “Oh, hai ,Lita! Ayo, kita makan ayam dan soju! Lihatlah! Kita lomba minum soju.” Dia menawarkanku sebotol soju sambil tertawa lebar, “Ayo kita bersenang-senang sampai malam tiba karena hari ini adalah malam Sabtu. Kita bebas!” dia tertawa bersama teman-temannya. Sedangkan aku disini hanya bisa menangis dalam hati. Sedihku dibalut senyum tipis.

            “Oh, maaf aku lupa ada janji dengan teman. Aku harus pergi.” Aku menipu. Melangkah keluar dengan badan yang lelah, mungkin juga perasaanku. Aku benar-benar badmood. Aku rasa seharunya dia meminta izin dulu. Ah, mungkin karena culture kita terlalu berbeda. Saat ini aku hanya ingin istirahat.

            Akhirnya aku hanya duduk di sebuah bangku taman dekat kampus. Aku hanya mengamati suasana sekitar. Membuatku sedih semakin dalam. Suasana desaku dan suasana kota Surabaya sungguh berbeda dengan disini entah bagaimana aku menjabarkannya. Butiran air mataku tak terasa menetes. Satu persatu keluar hingga membanjiri bangku taman.

Setiap butir air mataku yang jatuh, setiap lelah dalam diri pun terbawa olehnya. Ya, mungkin aku hanya lelah. Lelah melakukan bahasa isyarat. Sok tegar saat dipandangi karena hijab yang menempel pada kepala, bahkan ditertawakan dan dihujat. Memakan makanan yang tidak begitu ada rasanya, bahkan tidak enak di lidahku. Saat sakit pun aku harus sedih sendirian karena tidak enak dengan teman-teman asing disini. Lelah harus memendam cerita tanpa bisa menceritakan dengan bahasa Indonesia atau bahasa jawa dengan lantang. Lelah merindukan keluarga, teman-teman, dan semua orang di Indonesia. Dan masih banyak lagi lelah yang akhirnya luruh bersama air mata.

 

25 Agustus 2018

            Setelah kesedihanku yang berlarut-larut. Akhirnya aku bisa sedikit memasang senyum diwajah hari ini. Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI) di Korea mengundangku bersama Riko dan Hambra untuk menghadiri puncak acara memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Luar biasa senang rasanya akan bertemu orang-orang dari Indonesia ditengah mayoritas penduduk Korea Selatan.

            Acara tersebut menampilkan beberapa seni dari Indonesia. Seperti tari saman, angklung, puisi, bahkan lagu nasional Tanah Airku. Saat beberapa pelajar Indonesia mempersembahkan lagu Tanah Airku, tiba-tiba perasaan sedih ataukah haru, entah aku bingung, muncul bersama gambaran indahnya dan nyamannya negeriku, Indonesia. Membuatku meneteskan air mata kembali.

Aku lihat beberapa dari orang Indonesia yang datang juga meneteskan air mata. Bahkan orang-orang “besar” yang bisa berkelana ke berbagai negara yang saat ini menghadiri acara pun menjatuhkan air mata. Aku tenang, aku tidak sendirian menangis disini. Bahkan Riko dan Hambra pun diam-diam menangis.

 “Walaupun banyak negeri ku jalani yang mahsyur permai dikata orang. Tetapi kampung dan rumahku disanalah ku rasa senang.” Aku tak henti-hentinya mengingat lirik itu. Membuatku tersenyum akan diriku yang baru menyadari tentang perasaanku terhadap negeriku. Sehingga aku menyebut hari ini adalah hari penyadaran, sekaligus hari kebanjiran. Ya, kebanjiran air mata.

 

30 Agustus 2018

            Inilah hari terakhir aku, Riko, dan Hambra berada di Korea Selatan. Aku sangat bersyukur tidak mengambil durasi student exchange selama satu semester tapi hanya satu bulan karena ternyata sebulan saja sudah membuatku ingin menghirup udara Indonesia tercinta.

            Di hari terakhir ini beberapa dari mahasiswa asing akan mempertunjukkan kebolehannya masing-masing. Aku, Riko, dan Hambra akan menyanyikan lagu Tanah Airku dilanjut dengan tari saman dengan koreografi yang menurutku sangat keren. Kami ingin menunjukkan kepada semua orang, inilah negeri kami yang keren. Dan benar saja, setelah kami menampilkannya semua orang bertepuk tangan bahkan ada yang standing ovation. Aku merasa sangat bangga menjadi orang Indonesia. Dan menangis lagi setelah keluar panggung. Aku tidak cengeng hanya saja emosi jiwa ini tidak bisa ku tolak.

 

31 Agustus 2018

            Setelah sekitar satu bulan, akhirnya aku bertemu bandara Gwangju lagi. Masih dengan perasaan senang seperti pertama bertemu. Bedanya, kali ini aku senang karena akan kembali ke Indonesia bersama rasa yang kini aku sadari. Dan bersama semangat yang membara untuk memberikan yang terbaik bagi negeriku tercinta. 

        Akhirnya, pergi jauh adalah tentang merindu. Akhirnya, pergi jauh adalah tentang menyadari. Akhirnya, pergi jauh adalah tentang mengingat. Dan akhirnya, pergi jauh adalah tentang pulang. Pulang untuk memeluk yang terkasih, pulang untuk melakukan hal besar bagi negara, Indonesiaku. Dan untukmu, Korea, mungkin dirimu memang indah. Namun dirimu hanya temppat singgah, bagiku dirimu tidak untuk tempat menetap.

Komentar