Luka-Luka Dibalik Perban


Sampai juga akhirnya. Kamarku yang hening nan sepi. Favoritku. Malam, gelap, lengang.Dibilik kecil, sendiri, berdiri, menepi. Lalu duduk, kulepas kain-kain penutup tubuh. Perban-perban disekujur badan perlahan-lahan kulepas. Cermin memantulkan wajahku yang meringis. Seperti tersenyum manis. Aku suka terlihat begitu, walau bukan. Luka-luka menganga, berdarah, bernanah dibalik perban. Sedih, perih, menangis. Sakit. Sakit! Air mataku itu pemalu, tapi tak pernah sungkan saat momen seperti ini. Kelelahan dan kesedihan meninabobokanku di malam yang temaram. Berselimut dinginnya angin malam. Namun, bantal yang empuk begitu nyaman untuk isi kepalaku yang berkecamuk.



Malam, jangan terlalu cepat menghilang. Aku sedang tidak ingin bertemu sang fajar. Senja, temui aku sesegara yang kau bisa. Agar aku bisa segera memejamkan mata. Melupakan rasa perih walau sekejap saja.

Malam pun berkhianat. Fajar datang dan mengoyak tubuhku untuk segera bangun. Kutenangkan diriku dan mulai beranjak menuju tempat bersemediku. Kamar mandi dengan pancuran airnya yang membiaskan linangan air mata. Sentuhannya yang menyegarkan sedikit menenangkan hatiku yang sudah tidak mau lagi diajak berjuang.

Aku balut lagi luka-luka ini. Aku simpan dibalik kain-kain penutup tubuhku. Cermin memantulkan bayanganku lagi. Iya, begitu, cukup meringis. Dan semua akan baik-baik saja. Aku siap, walau terpaksa, akan menghadapinya sekali lagi. Jikalau nanti pulang membawa luka kembali, cukup balut dengan perban putih. Dan semuanya akan baik-baik saja. Semua luka akan mengering pada saatnya, bukan? Atau malah bertambah parah? Tidak apa. Aku akan segera mengobatinya. Semoga bisa. Semoga. Baiklah, aku harus kembali berjuang, walau masih berdarah-darah.


Komentar